Selasa, 28 Juli 2009

MAKNA HARI RAYA NYEPI

MAKNA HARI RAYA NYEPI

Nyepi adalah satu-satunya hari raya Hindu yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai hari libur nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983, tanggal 19 Januari 1983. Sesungguhnya masih banyak lagi hari-hari agama Hindu lainnya yang sangat penting, seperti hari Galungan dan Kuningan yang diperingati sebagai hari kemenangan dharma atas adharma; hari Saraswati yang diperingati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan suci; hari Siwaratri yang diperingati sebagai hari renungan suci atau malam peleburan dosa, dan lain sebagainya. Khusus dalam pergantian Tahun Baru Saka, oleh umat Hindu diperingati dengan cara tersendiri dan sangat khusus pula, dibandingkan dengan peyaraan hari-hari keagamaan Hindu lainnya. Misalnya Hari Galungan, yang diperingati sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma, sehingga nampaknya umat Hindu merayakannya dengan cara bersenang-senang dan penuh rasa gembira disertai pula dengan maraknya dipasangnya penjor-penjor di depan rumah. Sedangkan hari Nyepi, dilaksanakan dengan penuh kesepian dan keheningan melaksanakan brata penyepian (yang secara harfiah, kata Nyepi berasal dari urat kata sepi, yang artinya sunyi, lengang, tidak ada orang bersuara atau tidak ada kendaraan yang mondar-mandir, tidak ada tamu, tidak melakukan kegiatan apa-apa, tidak ramai; menyepikan bhuwana alit dan bhuawana agung).

Di Indonesia, hari Nyepi diperingati sebagai pergantian Tahun Baru Saka. Penggunaan Tahun Baru Saka ini adalah merupakan pengaruh yang berasal dari India, yaitu sejak mulai bangkitnya toleransi antar umat beragama di India pada tahun 78 Masehi, yakni sejak seorang raja dari dinasti Kusana yang bernama raja Kaniska I naik tahta kerajaan. Beliau merupakan seorang raja yang sungguh sangat bijaksana. Selanjutnya, sejak tahun 79 Masehi diresmikannyalah tahun Saka ini sebagai tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku-suku bangsa di India sebelumnya. Semenjak saat itu pula bangkitlah toleransi antar umat beragama. Hal ini dibuktikan dari raja Kaniska I yang beragama Hindu memperhatikan kehidupan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

Sejak diresmikannya tahun Saka ini oleh raja Kaniska I, tahun ini kemudian dipakai pula sampai ke India Utara dan bahkan terus berkembang sampai ke Indonesia. Kemudian sejak tahun 1958 pemerintah India menetapkan tahun Saka sebagai tahun nasional India. Karena luasnya wilayah dan beragamnya perhitungan tahun di India, walaupun telah memiliki tahun nasional, ternyata masyarakat India tidak serentak melaksanakan tahun Saka itu. Kini Tahun Baru Saka ini dirayakan tiga kali dalam setahun, yaitu (1) Tahun Baru Nasional India (Saka) dirayakan tiap-tiap tanggal 22 Maret, (2) Penganut solar sistem (Meshadi) dengan purnimanta merayakan tahun baru Saka ini pada Purnama Chittirai/Vaisaka (April) terutama di wilayah suku Tamil Nadu sesuai dengan awal tahun Saka yang bertepatan dengan Purnama; dan (3) Penganut luni-solar sistem merayakannya pada tiap-tiap Chaitra Amavasya (Tilem Chaitra/Kasanga) yang umumnya jatuh pada bulan Maret.

Umat Hindu di Indonesia menganut sistem Surya-Chandra Pramana, solar dan lunar sistem, sebagai satu kesatuan untuk menghitung penanggalan dan hari raya Hindu, terutama jatuhnya tahun baru Saka. Surya Pramana (solar system) dipergunakan untuk menentukan Sasih Kesanga atau bulan Maret menurut perhitungan Tahun Masehi, sedangkan Chandra Pramana (lunar system) dipergunakan untuk menentukan tangga1 1, yaitu Tilem atau bulan mati. Demikianlah, dengan perhitungan yang amat cermat pada bulan Maret, bulan mati atau Tilem Sasih Kesanga, Matahari, Planit Bumi dan Bulan berada tepat dalam satu garis lurus di atas Khatulistiwa. Umat Hindu percaya, bahwa posisi Matahari jika berada di bagian Utara dari garis Khatulistiwa selama enam bulan membawa musim yang lebih baik dan penuh harapan bagi umat manusia. Tilem Sasih Kesanga pada bulan Maret, di mana Matahari mulai beranjak menuju ke arah Utara dari Khatulistiwa, adalah pertanda baik, sebagaimana diungkapkan dalam Bhagavadgita VIII.24, sebagai berikut :

agnir jyotir ahah suklah

san-masa uttarayanam,

tatra prayata gacchanti

brahma brahma-vido janah

Artinya :

Di kala api, cahaya, siang hari, purnama dan enam bulan musim matahari ada di utara, apabila pada saat itu ajal tiba, orang yang mengetahui Brahman pergi kepada Brahman”.

Sloka di atas, menekankan bahwa apabila tugas dan kewajiban kita di dunia ini telah kita rampungkan sesuai petunjuk Hyang Widhi dan bila ajal telah tiba dengan mengetahui Brahman, kita akan bersatu, menunggal dengan Brahman, Hyang Widhi atau Tuhan Yang maha Kuasa. Karena demikian, di dalam kehidupan ini, bagi umat Hindu ibadah agama harus dilakukan dengan : (1) Yajna, yakni dengan berbhakti atau kebhaktian dan dengan upacara persembahyangan; (2) Karma, yaitu dengan bekerja atau berkarya atau dengan melakukan tugas kewajiban; (3) Dana, yakni dengan memberi sedekah, sumbangan (pemberian suka rela); dan (4) Tapa berupa renungan suci, mpengendalian diri atau pengekangan hawa nafsu atau upawasa dan menyucikan diri, sebagaimana dinyatakan dalam Bhagavadgita XII.2, sebagai berikut :

Sri bhagavan uvaca :

mayy svesya mano ye mam

nitya-yukta upasate,

sraddhaya parayopetas

te me yuktatama matah

Artinya :

Sri Bhagavan (Tuhan) bersabda : “Yang menyatakan pikiran berbhakti kepada-Ku, menyembah Aku, dan tawakal selalu, memiliki kepercayaan yang sempurna, merekalah Ku pandang terbaik dalam yoga”.

Demikianlah tapa sebagai salah satu ibadah, merupakan sarana untuk menuju hidup yang lebih bahagia. Tapa adalah pemusatan pikiran, mengendalikan panca indriya, melaksanakan konsentrasi jiwa kehadapan Hyang Widhi, bagaikan nyala pelita tak tergoyangkan di tempat tak berangin, sebagaimana diungkapkan di Bhagavagita VIII.8, sebagai berikut :

abhyasa-yoga-yuktena

cetasa nanya-gamina,

paramam purusam divyam

yati parthanucintayan

Artinya :

Keteguhan hati yang tak tergoyahkan dengan konsentrasi, kontrol terhadap kegiatan pikiran, pernafasan dan alat-alat indriya, oh Parta, inilah keteguhan hati mulia.

Tujuan tertinggi bagi umat Hindu dalam kehidupan adalah meningkatnya kualitas kehidupan sebagaimana digariskan dalam kaidah-kaidah hari suci Nyepi. Sesungguhnya semua makhluk hidup yang ada di muka bumi ini membutuhkan adanya Nyepi (suasana sepi), karena dalam suasana nyepilah timbulnya pertumbuhan dalam setiap makhluk hidup. Tumbuh-tumbuhan akan bergerak tumbuh pada saat-saat malam hari (saat-saat gelap dan ketika tidak bergerak). Demikian pula makhluk-makhluk hidup lainnya, secara anatomis, terjadinya pertumbuhan itu adalah ketika ia tidak bergerak (saat-saat tidur, tenang, tidak bergerak dan saat-saat gelap). Demikianlah, pada saat-saat suasana yang heneng, hening dan henung; saat-saat suasana yang sepi, tenang, gelap dan tidak bergerak, saat-saat panca indriyanya terkendali secara ketat, manusia akan dapat meningkatkan pendakian dirinya ke arah kesucian lahir dan bathin. Dalam suasana yang demikianlah manusia mampu menemukan jati dirinya (mulat sarira), sehingga ia dapat mencapai tujuan tertinggi di dalam hidupnya berupa Moksartham Jagathita. Itulah sebabnya maka pada hari suci Nyepi, kita patut melaksanakan tapa, brata, yoga dan samadhi, dengan mengkondisikan suasana yang sepi, tenang, tidak bergerak serta dengan mengendalikan panca indriya secara ketat; dengan suasana, heneng, hening dan henung; dengan pemusatan sabda, bayu dan idep; dengan menyatukan cipta, rasa, karsa dan karya maka pendakian diri ke arah hidup suci lahir dan bathin akan dapat dicapai. Oleh karena demikianlah, maka dalam rangka menyongsong hari suci Nyepi ini, kita kondisikan suasana itu agar tenang, gelap, lampu dimatikan dan wajib melakukan Catur Brata Nyepi (amatigeni, amatikarya, amatilelungaan dan amatilelanguan) selama 24 (dua puluh empat) jam dalam setiap tahun.

Rangkaian hari Nyepi.

Hari suci Nyepi, jatuh sehari sesudah Telemning kesanga, yaitu pada penanggal 1 (apisan) Sasih Kedasa, yang tahun ini jatuh pada tanggal 07 Maret 2008. Ada pun rangkaian upacara menyambut Tahun Baru Saka/hari suci Nyepi, adalah :

a. Melasti atau Melis/Mekiis.

Pada umumnya Melasti atau Melis/Mekiis ini dilaksanakan pra Nyepi tepat pada Trayodasa Krsnapaksa Sasih Kesanga atau pada panglong ping 13 Sasih Kesanga, yang pada tahun ini untuk umat Hindu DKI Jakarta dilaksanakan tanggal 2 Maret 2008. di Pura Segara Cilincing Tanjung Priuk. Hari ini adalah hari yang sangat baik untuk melakukan kegiatan Melasti atau Melis/Mekiis. Penentuan pelaksanaan upacara ini disesuaikan dengan desa, kala dan patra (situasi dan kondisi) dari umat masing-masing.

Pada perakteknya, saat Melasti atau Melis/Mekiis ini dilaksanakan upacara pembersihan atau penyucian segala sarana dan prasarana, yaitu prangkat alat-alat yang akan dipergunakan untuk persembahyangan atau meditasi. Biasanya upacara Melasti atau Melis/Mekiis ini dilakukan di laut atau di tempat-tempat mata air terdekat dan dapat pula dilakukan di sungai (sesuai dengan desa, kala dan patra umat masing-masing). Bagi mereka yang dekat dengan laut, Melasti atau Melis/Mekiis itu dilaksanakan di laut, sedangkan yang jauh dari laut mereka dapat melaksanakannya di sungai atau pada mata air yang terdekat yang jelas upacara Melasti atau Melis/Mekiis itu dilakukan menuju sumber air. Sebagaimana kita ketahui, bahwa sumber air yang terbesar adalah laut. Semua sungai pasti mengalir ke laut. Dari sini pulalah adanya siklus peredaran air yang memberikan hidup dan kehidupan alam semesta ini. Di samping itu, air juga berfungsi sebagai pembersih atau peleburan, sebagaimana disebutkan dalam Manava Dharmasastra V.109, sebagai berikut :

adbhirgatrani suddhyanti

manah satyena suddhyati,

widyatapobhyam bhutatma

budhir jnanena suddhyati

Artinya :

Badan dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.

Jadi atas dasar sloka tersebut di atas, maka jelaslah bahwa fungsi air di samping sebagai pembersih juga sebagai pelebur kotoran. Kita perhatikan, bahwa dalam setiap hari semua sungai-sungai mengalirkan berbagai kotoran ke laut, tetapi setelah sampai di laut menjadi sirna kotoran tersebut. Apabila seandainya air laut itu tidak berfungsi sebagai pelebur, maka semestinya laut tersebut menjadi tumpukan dari berbagai kotoran dan penyakit. Namun kenyataannya malah sebaliknya, orang-orang sengaja mandi ke laut justru untuk kesehatan. Demikianlah sebabnya, mengapa umat Hindu melaksanakan upacara Melasti atau Melis/Mekiis itu ke laut atau ke sumber mata air, dengan tujuan memohon kepada Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Baruna berupa thirta pembersihan.

b. Tawur Kesanga.

Tawur Kesanga jatuh pada Pancadasi Kresnapaksa Sasih Kesanga, yang pada tahun 2008 ini jatuh pada hari Kamis , tanggal 06 Maret 2008. Umumnya, Tawur Kesanga ini disebut juga hari Pangerupukan, yaitu diadakannya upacara tawur atau mecaru (korban suci) untuk menghilangkan unsur-unsur kejahatan yang menggangu kedamaian umat manusia. Pada hari ini, umat Hindu bersiap-siap melepaskan tahun lama dengan memberikan korban suci agar segera kekuatan yang negatif tidak mengikuti manusia melangkah ke tahun yang baru. Di samping itu juga, upacara tawur ini juga bertujuan untuk menormalisir unsur-unsur Panca Mahabhuta, yaitu tanah, air, panas, udara dan ether, yakni lima unsur yang menjadi cikal bakal alam makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (badan makhluk hidup). Jadi upacara ini ditujukan kepada Bhuta Kala agar tidak mengganggu keharmonisan hidup, tidak mengganggu kelestarian alam, namun agar terjadi adanya keharmonisan, hidup berdampingan, selaras, serasi dan seimbang. Upacara Tawur ini mengandung suatu pengertian dan tuntutan agar kita di dalam kehidupan ini : (1) Kita merasakan hutang budhi terhadap Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa), yang telah beryajna menciptakan dunia beserta dengan segala isinya sehingga kita dapat menikmati kemakmuran, kebahagiaan dan keselamatan; (2) Dituntut melalui simbul di dalam Tawur Agung ini, agar kita berani berkorban mempersembahkan sebagian harta milik kita untuk kebajikan sebagai tawur atau pembayaran atas hutang budhi kita; (3) Melalui upacara tawur, manusia diharapkan dapat mengorbankan sifat-sifat kebinatangannya, yakni unsur-unsur sifat Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira dan lain sebagainya, yang dapat menjerumuskan dan menyengsarakan hidup manusia. Karena manusia yang dikuasai oleh sifat-sifat kebinatangannya, ia akan jauh lebih buas dari pada binatang itu sendiri. Mari kita perhatikan binatang Singa, dia (Singa itu) adalah binatang buas, tetapi sebuas-buasnya Singa, dia tidak pernah membunuh anaknya atau memakan sesama Singa. Demikian pula, apabila dia dapat menerkam mangsanya, tidak pernah mereka makan sendiri, dia akan makan secukupnya, selebihnya semua makhlyuk lainnya ikut menikmatinya. Berbeda dengan ular, dia (ular itu) akan menangkap mangsanya dan menelan bulat-bulat tanpa sisa, tetapi begitu habis makan, meskipun dating mangsanya lagi ular tersebut tidak akan mau makan lagi. Berbeda halnya dengan manusia yang serakah, dia cenderung melebihi dari sifat-sifat binatang. Inilah yang perlu ditinggalkan, sehingga di dalam kehidupan ini kita mampu meningkatkan kualitas diri kita ke arah manusia yang “Sujana”. (4) Upacara Tawur yang bermakna pembayaran tersebut, bertujuan juga untuk menyeimbangkan atau mengharmoniskan kondisi lingkungan, sehingga di suatu tempat tidak ada berlebihan namun di tempat yang lain kekurangan. Keharmonisan dan keseimbangan inilah yang disebut dengan istilah “Caru”, yang artinya indah, cantik, harmonis, serasi, selaras dan seimbang; dan (5) Sebagaimana halnya peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang jatuh pada setiap tanggal 17 Agustus, yang bertujuan untuk meningkatkan rasa patriotisme dan membangkitkan rasa hutang budhi kepada para pahlawan kusuma bangsa yang telah gugur dan berkorban berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Demikian pulalah halnya dengan upacara keagamaan, hanya merupakan symbol bhakti. Karena jika hanya dengan melakukan upacara-upacara saja tidaklah secara otomatis kita akan dapat mencapai adanya kemakmuran, keselamatan dan keharmonisan itu. Upacara-upacara tersebut hanyalah merupakan tuntutan agar kita selalu sadar dan rasa bhakti bertambah mantap. Karena demikian, di samping kita harus melakukan upacara tawur, maka harus pula disertai dengan usaha, iman dan takwa (sradha dan bhakti) yang ditumbuhkembangkan di dalam diri kita masing-masing. Upacara-upacara keagamaan ini akan baru ada artinya jika dilanjutkan dengan perbuatan-perbuatan riil, seperti memelihara lingkungan hidup dengan baik, menumbuhkan rasa kasih sayang kepada semua ciptaan Tuhan dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Maha Agung, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

c. Nyepi (Sipeng)

Hari Nyepi pada tahun ini jatuh pada hari Kamis, 07 Maret 2008. Hari Nyepi, juga disebut Sipeng, yaitu upacara menyambut Tahun Baru Saka. Perayaan Nyepi saat ini memasuki Tahun Baru Saka 1930.Tepat pada Sipeng (Nyepi) ini, umat Hindu melakukan Catur Brata penyepian yakni yakni Amatigeni, Amatikarya, Amatilelungan dan Amatilelanguan.

Amatigeni, artinya tidak berapi-api atau tidak menyalakan api. Pada kenyataannya Amatigeni ini dilakukan dengan jalan mematikan api di dapur, api dalam nyala lampu, api dalam rokok dan sebagainya. Namun dalam prakteknya, Amatigeni ditujukan kepada disiplin hidup, yaitu mematikan apinya hawa nafsu, mematikan apinya amarah dan mematikan apinya loba. Hal ini, umumnya diterapkan dengan melakukan puasa (upawasa) dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan dikosongkannya perut dalam berpuasa, proses pencernaan pun disitirahatkandan ini berarti berlangsung juga konservasi energi vital untuk itu. Dengan demikian diharapkan terjadi penghimpunan dan penguatan energi halus atau energi vital (prana). Dengan melaksanakan upawasa dan prayama, yang dalam hal ini diartikan meniadakan pemborosanprana dan sebaliknya menghimpun dan menguatkannya, tak pelak lagi merupakan pasangan sadhana yang paling sesuai. Aktivitas fisikal membutuhkan banyak kalori, tenaga dan energi kasar. Dengan berpuasa suplai tenaga kasar menjadi berkurang, dan ini tentu akan mengurangi dorongan untuk bekerja secara fisik maupun bepergian. Dengan demikian Amatigni merupakan penopang dari laku Amatikarya dan Amatilelungan. Gni ini juga sering dimaknai sebagai apinya nafsu atau keinginan (kama). Kobaran terhadap apinya hawa nafsu atau keinginan (kama) inilah yang mestinya dipadamkan. Kama mengarahkan kita pada setiap aktivitas yang melenakan, sehingga dengan melakukan Amatigni ini, secara implisit juga berarti meniadakan aktivitas yang digerakkan oleh dorongan kama. Dengan menyepikan lelanguan dalam memenuhi tuntutan penikmatan obyek-obyek indriyawi, perasaan dan pikiran, banyak energi vital dapat dihemat.

Amatikarya, dilakukan dengan jalan berhenti bekerja, istirahat penuh dan tidak melakukan kegiatan produktif apa pun. Amatikarya ini lebih memberi penegasan serta memberi penekanan lagi pada non aktivitas fisikal. Mengingat aktivitas fisik umumnya bermula dari dan digerakkan oleh aktivitas mental, aktivitas pikiran dan perasaan, maka aktivitas mental pun seyogyanya disepikan. Dan pada umumnya kesulitannya di sini, karena pikiran yang doyan berkelana kesana kemari dan perasaan dan emosi yang peka terhadap golakan, sebagai reaksi terhadap kontak-kontak indriyawi, sungguh sulit diistirahatkan. Karena demikian dalam melalukan Amatikarya ini, dianjurkan untuk melkukan meditasi (dhyana). Meditasi mententramkan kita secara lahiriah dan bathiniah. Ia mengantarkan kita pada keheningan yang sesungguhnya, seperti yang diharapkan. Melalui meditasilah pemusatan pikiran kepada yang maha tinggi dimungkinkan untuk dapat tercapai.

Amatilelungan, berarti tidak keluar rumah, tidak mengadakan perjalanan (tidak bepergian). Amatilelungan ini secara esoteris diartikan sebagai penghentian berkelananya pikiran. Tidak bepergian secara fisik memang mudah dilakukan, mungkin dengan tidur, namun bukanlah itu yang dimaksudkan. Ketika fisik ini diam, pikiran justru malah menerawang dan berkelana kesana kemari menghampiri obyek-obyek yang digandrunginya. Berbagai bentuk-bentuk pemikiran serta merta bermunculan dan gejolak perasaanpun secara otomatis mengikutinya. Dalam diam mereka justru terundang untuk aktif. Bagaimana cara kita menanggulanginya ? Dengan upawasa dan pranayama dapat membantu dalam menanggulangi hal tersebut, dilengkapi dengan dhyana, praktek-praktek spiritual ini menjadi lebih sempurna. Hanya dengan tidak mengkonsumsi jenis makanan dan minuman tertentu saja, misalnya, bentuk-bentuk pemikiran negatif serta bentuk-bentuk emosi yang destruktif menjadi kehilangan momentumnya. Apalagi dengan upawasa, aktivitas mental juga membutuhkan energi mental yang diperoleh lewat apa yang kita konsumsi. Upawasa akan secara kondusif membantu meditasi. Sementara itu praktek pranayama, yang secara umum diselenggarakan sebagai pengaturan nafas, akan membantu kita dalam menambatkan perhatian hanya pada nafas; apakah itu hanya dengan mengatur keluar dan masuknya udara atau pun dengan hanya memperhatikan mekanisme biologisnya saja. Perhatian yang tertambat, terkonsentrasi pada suatu titik tertentu (dharana) tidak lagi memungkinkan pikiran lari kesana kemari seperti sebelumnya. Ini ibarat tali kekang bagi seekor kera. Dengan mengambil sikap diam, baik kontak-kontak indriyawi maupun kontak-kontak mental menjadi sangat minim, sehingga gejolak perasaan pun terbatasi.

Amatilelanguan, artinya menghentikan sukaria, yakni tanpa menikmati hiburan atau tontonan dalam berbagai bentuknya atau pula tidak bersenang-senang mengumbar hawa nafsu. Amatilelanguan ini akan berhasil dengan baik dengan menutup semua gerbang indriya sensorik (panca buddhindriya) serta menghentikan aktivitas kelima indriya motorik (pancakarmendriya) ini. Pada prinsipnya, melalui Amatilelanguan, kesebelas indriya (ekadsendriya) lebih mungkin dijinakkan untuk dikendalikan. Dengan demikian kama pun akan kehilangan daya geraknya. Dengan demikian, pengheningan dan pemurnian bathin dapat berjalan seperti yang diharapkan.

Pelaksanaan Catur brata Nyepi ini, mengandung makna bahwa pada suatu waktu manusia perlu bercermin ke dalam dirinya sendiri. Dengan heneng, hening dan henung; dengan mendengarkan bisikan hati nurani yang suci, Sang Pribadi yang jujur dan bersih, maka cenderung kita dapat menghindarkan diri dari sifat-sifat kemarahan, keangkaramurkaan, kelobaan (keserakahan), kesombongan, kedengkian dan permusuhan, yang merupakan manifestasi dari sifat-sifat rajas dan tamas yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Dengan Nyepi ini, juga diharapkan dapat memberikan hikmah dan sekaligus wahana untuk usaha-usaha mewujudkan hubungan yang selaras, serasi dan seimbang atau harmonis, terutama hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam dan lingkungannya.

Hari suci Nyepi ini merupakan momentum yang sangat baik untuk memusatkan pikiran kepada sumber pikiran itu sendiri (Parama Siwa); tidak hanya menghitung-hitung apa yang telah kita lakukan pada tahun-tahun yang lalu (mulat sarira), tetapi yang tak kalah pentingnya adalah penyucian diri secara spiritual agar tercapai ketenangan, kenyamanan, keamanan, kedamaian dan kebahagiaan hidup. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa pendakian spiritual tidak hanya harus dilakukan pada saat-saat melaksanakan Catur Brata Penyepian, tetapi setelah itu, terus menerus secara tekun dan penuh kesadaran patut diusahakan di tengah-tengah godaan dasendriya, yang selalu menghalangi eksistensi sang buddhi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian segala bentuk pikiran (manah), perkataan (vak) dan perbuatan (kayika) kita memancarkan nilai-nilai kesucian, moral dan spiritual. Penyucian ini memang merupakan inti dari setiap ritual atau upacara yajna. Namun kita tidak berhenti hanya sampai di situ, yang lebih penting adalah perlu adanya upaya dalam diri sendiri untuk selalu mengusahakan pendakian spiritual agar tercapai puncak tertinggi. Pada puncak tertinggi itu, apabila kita kasihaning dening Hyang, kita tidak lagi bertengkar atau bermusuhan satu dengan yang lainnya, karena perbedaan itu akan sirna. Dari mana kita mendaki, siapa namanya, dari mana asalnya dan sebagainya. Semua lembah, daratan, gunung dan ngarai terlihat sama. Semua perbedaan lebur jadi satu. Tetapi apabila pendakian kita baru sampai pada tahap intelek atau bahkan ego, kita justru sering berdebat bahkan berkelahi pada unsur-unsur kulit luarnya bukan pada esensinya. Perbedaan itu kadang sering merepotkan kita. Karena itu pada hari suci Nyepi ini, melalui pelaksanaan catur brata penyepian, sangat tepat untuk memulai upaya pendakian spiritual dengan selalu mengarah pada hidup ke depan dan bukan kembali ke belakang, untuk itu diperlukan adhyatmika kita, sehingga kita selalu jagra dan waspada pada godaan-godaan baik yang timbul dari dalam diri kita sendiri maupun yang datang dari luar.

Jadi, makna hari Nyepi sesungguhnya adalah merenungkan posisi diri kita yang sejati, antara diri kita sendiri (bhuwana alit) dengan alam semesta beserta segala isinya (bhuwana agung). Pada hari suci Nyepi ini, dalam suasana yang heneng, hening dan henung, umat Hindu mencari, menggali dan menciptakan rasa damai, rasa tenang, aman, nyaman dan kesehatan mental melalui tapa, brata, yoga dan samadhi. Ini merupakan proses penyucian diri sebagai akibat dari kesadaran diri, bahwa pencarian dan penggalian diri kita bukanlah perolehan material semata, tetapi lebih dari itu, yaitu pencapaian emansipasi jiwa, sat cit ananda. Bagaimana kita bisa menempatkan diri kita harmonis dengan alam dan bukan berhadapan atau melawan alamsemesta. Keselarasan, keserasian dan keseimbangan atau keharmonisan memang selalu diperhatikan oleh setiap insane Hindu. Mulculnya konsep Tri Hita Karana sesungguhnya adalah konsep keseimbangan baik secara vertical maupun horizontal. Sesungguhnya, hidup menurut ajaran Hindu adalah sebuah pendakian diri yang semestinya dijalani oleh setiap umat Hindu dengan penuh keimanan. Hidup sebagai manusia bukanlah sebuah tujuan atau akhir dari sebuah perjalanan lahir-hidup-mati. Hidup adalah sebuah evolusi jiwa ke arah kesempurnaan dan ke arah kesadaran diri. Kesadaran yang tertinggi itu akan nampak pada orang yang tekun melaksanakan tapa, brata, yoga dan samadhi. Oleh para Maharsi dan arif bijaksana diakui hal tersebut sebagai hal yang gaib dan rahasia. Demikian diungkap di dalam Kakawin Arjuna Wiwaha : “Sasi wimba haneng gatha mesi banyu, ndan asing suci nirmala mesi wulan, iwa mangkana rakwa kiteng kadadin, ring sang angambeki yoga kiteng sakala”, artinya “bayangan bulan terlihat dalam tempayan yang berisi air; dalam setiap air yang bersih, dan suci hening akan jelas terlihat bulan; demikianlah Engkau, Tuhan, berada dalam setiap makhluk; dan pada orang yang melakukan yoga Engkau menampakkan diri.

Berdasarkan ungkapan sloka tersebut di atas, maka kesadaran tertinggi manusia adalah ketika ia telah mampu mengetahui jati dirinya, Sang Pribadi itu sendiri. Karena demikian, maka sehari setelah Sipeng yaitu pada saat Ngembakgeni atau nglabuh brata yang merupakan rangkaian terakhir dari hari Nyepi tersebut, merupakan mulainya hidup baru bagi umat Hindu, kita patut saling maaf memaafkan satu sama lain, baik antara keluarga kecil (antara suami dengan istri, antara ayah/ibu dengan anak); intern keluarga besar, yaitu antara kakek dengan cucu atau dengan cicit, dan sebagainya; maupun dengan sesama umat manusia secara keseluruhan.Acara ini secara nasional dikenal dengan acara Dharma Santi. Dengan panjatan doa, semoga di dalam mengarungi kehidupan pada tahun-tahun berikutnya selalu diwarnai oleh kesucian terlepas dari pengaruh-pengaruh negatif kehidupan masa silam dan mengalami hidup baru dan suci; dan semoga pula Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Kuasa menganugerahkan kepada kita jalan yang terang terlepas dari kegelapan masa silam dan dengan jiwa terang kita masuki Tahun Baru Saka 1930 ini penuh dengan harapan. Setiap perubahan bagi umat Hindu adalah peningkatan prestasi dan kualitas diri, yang membawa pada peningkatan kualitas nilai-nilai hidup. Demikian pula pada Tahun Baru Saka 1930 ini, atas limpahan berkah, rahmat dan karunianya Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kita dapat meningkatkan kualitas diri kita masing-masing ke arah kesucian lahir dan bathin, sehingga perubahan itu dapat diarahkan kepada kehidupan yang lebih aman, nyaman, tentram, damai, sejahtra dan bahagia. Semoga. Semua mahluk mendapatkan kebahagiaan . Om Shanti,Shanti,Shanti Om.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar