Rabu, 19 Agustus 2009

Kebijakan Teknis Ditjen Bimas Hindu Dalam Pembinaan LPDG

Kebijakan Teknis Ditjen Bimas Hindu

Dalam Pembinaan LPDG

Oleh : I Gusti Bagus Ngurah, S.Ag

I. Pengantar

Pembangunan bidang agama dapat ditempuh melalui beberapa cara. Diantaranya adalah, pertama, peningkatan kualitas pelayanan serta pemahaman pada agama dan kehidupan beragama. Kedua, peningkatan dimensi kerukunan hidup beragama yang mendukung sikap saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat.

Pembangunan dimensi pemahaman pada agama penting dilakukan agar individu tidak menyimpang, akan tetapi semakin dekat dengan nilai, norma, dan ajaran agama. Sedangkan pembangunan dimensi kerukunan beragama juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kemajemukan sosial. Dengan demikian, suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis akan tercipta. Pada cakupan yang lebih luas, hal tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan Indonesia yang aman, damai dan sejahtera.

(Naskah ini dikutip dari Evaluasi Pelaksanaan RPJMN 2004-2009 yang diterbitkan oleh Menpan/Ketua Bappenas)

II. Kondisi Awal

1. Kualitas Pendidikan Agama dan Beragama, serta Kehidupan Beragama yang Belum Memadai

Pembangunan agama di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan kualitas kehidupan beragama yang belum memadai. Hal ini tercermin pada perilaku sosial setiap pemeluknya. Ajaran agama yang merupakan sistem nilai seharusnya dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun faktanya, masyarakat masih sering melakukan perilaku negatif yang menyimpang dari nilai dan norma agama. Misalnya, perilaku asusila, praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), penyalahgunaan narkoba, pornografi, pornoaksi, dan berbagai perilaku yang melanggar nilai-nilai agama lainnya. Berbagai indikasi di atas menyebabkan pendidikan agama dan keagamaan belum dapat dilaksanakan secara optimal bagi pengembangan pribadi, watak, dan akhlak mulia peserta didik, sehingga kualitas kehidupan beragama masih perlu terus ditingkatkan.

Faktor yang menyebabkan timbulnya permasalahan tersebut diantaranya adalah pendidikan agama belum sepenuhnya diarahkan pada latihan pengamalan secara nyata, pembentukan sikap, maupun perilaku untuk berakhlak mulia. Padahal, pendidikan agama tidak hanya dilakukan oleh lembaga pendidikan formal saja, melainkan juga dilakukan oleh keluarga, lembaga sosial keagamaan, lembaga pendidikan tradisional keagamaan, termasuk LPDG dan tempat-tempat ibadah.

2. Adanya Kesenjangan Fasilitas Keagamaan Antara Perkotaan dan Daerah Terpencil

Kondisi pelayanan kehidupan beragama juga dinilai belum memadai. Hal ini terlihat dari masih terjadinya kesenjangan fasilitas keagamaan antara perkotaan dan daerah terpencil. Sarana dan prasarana ibadah di daerah terpencil masih terbatas. Namun di lain pihak, daerah perkotaan memiliki banyak tempat peribadatan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal dalam kurun waktu tersebut, upaya peningkatan mutu pelayanan kehidupan beragama melalui pembangunan sarana dan prasarana peribadatan terus dilakukan oleh Pemerintah. Misalnya, pembangunan sarana dan prasarana di daerah yang terkena bencana dan terisolir, serta pemberian bantuan rehabilitasi bagi sarana keagamaan yang mengalami kerusakan ringan.

3. Peran Lembaga Sosial Keagamaan dan Lembaga Pendidikan Keagamaan yang Belum Optimal

Upaya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan adalah untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang kondusif dalam pembangunan sosial khususnya pembangunan bidang agama. Namun dalam kurun waktu 2004-2005, peran lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan masih belum optimal meskipun peningkatan peran lembaga tersebut terus dilakukan, yaitu melalui pelatihan manajemen kepada pengelola lembaga, bantuan sarana dan prasarana, serta block grant untuk kegiatan operasional lembaga sosial keagamaan tersebut.

Peran sosial kemasyarakatan lembaga-lembaga tersebut cukup efektif, terutama bagi masyarakat miskin dan di daerah perdesaan. Namun, sebagian besar dari lembaga tersebut belum dapat menjawab seluruh tantangan dan dinamika yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana meningkatkan kapasitas serta kualitas lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan, sehingga mereka mampu berperan sebagai agen perubahan sosial. Peran tersebut berkaitan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberi kesempatan memperoleh pendidikan bagi warga masyarakat yang kurang mampu terutama di daerah pedesaan.

III. Sasaran yang Ingin Dicapai

Peningkatan Kualitas Pelayanan dan Pemahaman Agama serta Kehidupan Beragama

a. Meningkatnya kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga kualitas masyarakat dari sisi rohani semakin baik. Upaya ini juga ditujukan pada anak peserta didik di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan, sehingga pemahaman dan pengamalan ajaran agama dapat ditanamkan sejak dini pada anak-anak termasuk melalui LPDG;

b. Meningkatnya kepedulian dan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban membayar dana punia dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat;

c. Meningkatnya kualitas pelayanan kehidupan beragama bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga mereka dapat memperoleh hak-hak dasar dalam memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai agama dan kepercayaannya;

d. Meningkatnya kualitas manajemen dengan sasaran penghematan, pencegahan korupsi, dan peningkatan kualitas pelayanan; serta

e. Meningkatnya peran lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan sebagai agen pembangunan dalam rangka meningkatkan daya tahan masyarakat dalam menghadapi berbagai krisis.

IV. Posisi Capaian hingga 2008

Peningkatan Kualitas Pelayanan dan Pemahaman Agama dalam Kehidupan

Untuk meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan serta memperluas wawasan keagamaan umat beragama, Pemerintah ikut membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan kitab suci agama Hindu termasuk terjemahan dan tafsirnya serta buku-buku keagamaan lainnya.

Selain itu, dalam kurun waktu 2005-2008 juga telah diberikan berbagai bantuan dana dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama kepada masyarakat dalam kehidupan riil. Bantuan tersebut meliputi:

1. Pemberian bantuan operasional juru penerang agama;

2. Pemberian bantuan kepada organisasi sosial/yayasan/LSM;

3. Pengadaan bimbingan dan dakwah agama;

4. Pembinaan dan bimbingan ibadah sosial;

5. Pembinaan kepada penyuluh agama; serta

6. Pengembangan kelembagaan.

V. Permasalahan Pencapaian Sasaran

A. Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pemahaman, Penghayatan, serta Pengamalan Ajaran yang Kurang Optimal

Kurangnya pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama di masyarakat disebabkan oleh beberapa permasalahan. Salah satunya adalah kehidupan beragama pada sebagian masyarakat masih berada pada tataran simbol-simbol keagamaan dan belum bersifat substansial. Hal ini tercermin pada gejala-gejala negatif seperti perilaku asusila, praktik KKN, penyalahgunaan norkoba, pornografi, pornoaksi, dan perjudian. Selain itu, angka perceraian yang tinggi dan ketidakharmonisan keluarga menunjukkan masih lemahnya peran keluarga sebagai basis pembinaan masyarakat dan bangsa. Berbagai perilaku masyarakat yang bertentangan dengan moralitas dan etika keagamaan juga merupakan gambaran kesenjangan antara ajaran agama dengan pemahaman dan pengamalannya.

Di samping itu, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan juga belum sepenuhnya berjalan efektif. Hal tersebut, antara lain disebabkan oleh:

a. Kurikulum pendidikan agama lebih menekankan aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek pengamalan ajaran agama dalam pembentukan akhlak dan karakter;

b. Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang bermutu belum mencukupi;

c. Sarana dan prasarana yang terbatas; serta

d. Fasilitas pendukung lainnya yang kurang memadai.

Padahal di sisi lain, arus globalisasi terutama melalui media cetak dan elektronik dapat masuk dengan cepat ke lingkungan keluarga dan masyarakat. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi peserta didik dan prilaku sosial yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Oleh karena itu, peran pendidikan agama dan keagamaan menjadi sangat penting guna membentengi peserta didik dari dampak negatif globalisasi.

Salah satunya adalah melalui penyelenggaraan Utsawa Dharma Gita, selaku pelaksanaam di tingkat nasional pada tingkat daerah dilaksanakan pembinaan secara berkala setiap tahun

B. Peran dan Fungsi Lembaga-lembaga Sosial dan Lembaga Pendidikan Keagamaan yang Belum Optimal

Upaya peningkatan peran dan fungsi lembaga-lembaga sosial dan lembaga pendidikan keagamaan belum sepenuhnya berhasil dilaksanakan. Meskipun jumlahnya terus bertambah, namun tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme kelembagaan. Akibatnya, lembaga-lembaga tersebut tidak dapat menunaikan pe-rannya sebagai bagian dari agen perubahan sosial dalam masyarakat. Lembagalembaga sosial juga dinilai belum mampu berperan mengurangi dampak negatif ekstrimisme yang dapat memicu terjadinya konflik antar-kelompok baik internumat beragama maupun antarumat beragama.

VI. Upaya yang Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan dan Pemahaman Kehidupan Beragama

Langkah tindak lanjut yang akan dilakukan sebagai upaya mencapai sasaran RPJMN 2004-2009 antara lain:

a. Peningkatan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama, melalui peningkatan kualitas materi dan tenaga penyuluh agama dan pelayanan keagamaan lainnya, terutama yang bertugas di daerah rawan konflik dan daerah terpencil dan daerah terkena musibah;

b. Peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, antara lain melalui peningkatan ketersediaan dan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan bidang agama dan keagamaan;

c. Peningkatan kesadaran masyarakat dalam membayar dana punia; serta peningkatan profesionalisme tenaga pengelolanya;

d. Peningkatan kualitas penataan dan pengelolaan serta pengembangan fasilitas pada pelaksanaan ibadah, dengan memperhatikan kepentingan seluruh lapisan umat beragama dengan akses yang sama bagi setiap pemeluk agama;

e. Pembinaan keluarga harmonis (sakinah/bahagia/ sukinah/hita sukaya) untuk menempatkan keluarga sebagai pilar utama pembinaan moral dan etika masyarakat;

f. Peningkatan kualitas dan kapasitas lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan;

VII. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009

Peningkatan Kualitas Pelayanan dan Pemahaman Kehidupan Beragama

(1) Peningkatan Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan, serta Pengembangan Nilai-nilai Ajaran Agama, yang meliputi:

a. Meningkatnya jumlah tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki wawasan multikulturalisme;

b. Tersalurkannya beasiswa bagi pendidik bidang agama yang mengikuti program pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi;

c. Meningkatnya wawasan dan pemahaman agama di kalangan masyarakat dan aparatur negara;

d. Meningkatnya jumlah keluarga harmonis yang dibina;

e. Meningkatnya kualitas dan kuantitas penyuluh, pembimbing, mubalig/dai, serta pemuka agama;

f. Berkurangnya pornografi, pornoaksi, praktik KKN, perjudian, penyalahgunaan narkoba, prostitusi, dan berbagai jenis praktik asusila;

g. Meningkatnya jumlah sarana dan prasarana penerangan dan bimbingan keagamaan;

h. Berkembangnya materi, metodologi, manajemen penyuluhan, dan bimbingan keagamaan; serta

i. Meningkatnya aktivitas keagamaan di daerah tertinggal, terpencil, pasca-konflik, dan bencana alam.

(2) Peningkatan Mutu Fasilitas dan Pelayanan Keagamaan. Pencapaian sasaran ini diperkirakan meliputi:

a. Tersedianya sarana keagamaan berupa rumah ibadah di daerah bencana;

b. Meningkatnya jumlah sarana keagamaan yang layak;

c. Meningkatnya jumlah sarana ibadah di lingkungan sekolah; serta

d. Meningkatnya manfaat sosial ekonomi yang bisa dirasakan dengan keberadaan tempat peribadatan.

(3) Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Penghimpunan Dana Sosial diperkirakan akan tercapai dengan:

a. Terkelolanya dana sosial keagamaan secara profesional, terbuka, dan akuntabel seperti layaknya lembaga keuangan lainnya yang dapat diaudit oleh akuntan publik;

b. Meningkatnya kinerja lembaga pengelola dana sosial keagamaan;

c. Terciptanya koordinasi antar-lembaga pengelola dana sosial keagamaan; serta

d. Meningkatnya dana sosial keagamaan yang dihimpun dan disalurkan.

(4) Peningkatan Kualitas LPDG

a. Memiliki AD & ART;

b. Memiliki program yang jelas;

c. Memiliki pedoman dalam pelaksanaannya

VIII. Pengembangan Kulitas Lembaga Pengembangan Dharma Gita (LPDG)

Perkembangan dan penyebaran Agama Hindu keseluruh penjuru dunia termasuk Indonesia tidak terlepas dari peran seni budaya terutama di bidang olah seni suara (gita). Hindu mewarisi satu tradisi besar yaitu tradisi membaca karya-karya sastra keagamaan atau kawya. Tradisi itu masih hidup sampai sekarang walapun memiliki akar sejarah yang sangat tua dan melintasi jaman yang berbeda dan sangat panjang.

1. Dalam perkembangan Agama Hindu tumbuh kelompok-kelompok di masyarakat yang bergerak di bidang seni suara baik itu kidung kekawin, geguritan, kandayu, tandak, dan istilah-istilah lain sesuai dengan bahasa dan tradisi kehinduan di daerah setempat. Orang–orang dalam kelompok ini umumnya memiliki “rasa keagamaan” yang dalam serta lebih akrab dengan kegiatan ritual keagamaan.

2. Seni suara tersebut ikut berperan memperkaya tata ibadah dan ritual Agama Hindu, bahkan lantunan kidung yang mengiringi upacara/ritual keagamaan dirasa sangat membantu menciptakan hening sehingga menambah kekhusukan ibadah. Agama dan seni menyatu sedemikian rupa dan saling mendukung dalam Hindu; ajaran agama berfungsi mengarahkan dan menuntun mencapai tujuan hidup, dengan agama pula kita dapat memaknai hidup dan kehidupan.

3. Materi yang dikidungkan adalah ayat-ayat suci Weda dengan segala turunan kitab-kitabnya seperti Kitab Sruti, Smrti, Purana, Bhagawadgita, dan kitab-kitab susastra karya para pujangga/mpu jaman dahulu yang mengandung nilai-nilai Agama Hindu. Semakin dilantunkan, maka rasa keagamaan dimaksud semakin khusuk dalam membantu menghayati hakekat makna yang terkandung di dalam syair-syair gita tersebut, pada akhirnya mengalir bhakti yang begitu tulus kepada Tuhan penguasa alam semesta, guna meraih jagadhita dan moksa.

Seni berfungsi untuk memperhalus dan memperindah kehidupan dalam hubungan dengan manusia, alam lingkungan dan hubungan dengan Tuhan. Seni tak pernah berhenti menghasilkan kreasi dan variasi, termasuk seni suara, sebab itu penghayatan dan pengamalan Agama Hindu melalui dharma gita perlu terus dikembangkan dan menjadi tugas pokok Lembaga Pengembangan Dharma Gita (LPDG).

Kegiatan festival dharma gita yang disebut Utsawa Dharma Gita berawal dari Bali dan telah berlangsung sejak awal tahun delapan puluhan, namun belum melibatkan peserta provinsi seluruh Indonesia. UDG Tingkat Nasional telah diselenggarakan 10 (sepuluh) kali. Payung hukum pembentukan lembaga yang menaungi kegiatan UDG baru ada sejak terbitnya Keputusan Menteri Agama RI nomor 488 Tahun 2000 tanggal 19 Desember 2000 tentang Pembentukan Lembaga Pengembangan Dharma Gita.

Dalam diktum keempat SK Menag disebutkan bahwa tujuan pembentukan Lembaga Pengembangan Dharma Gita (LPDG) adalah untuk mewujudkan penghayatan dan pengamalan Weda dalam masyarakat Hindu yang ber-Pancasila. Untuk mencapai tujuan itu LPDG melakukan kegiatan, yaitu:

1. Menyelenggarakan Utsawa Dharma Gita Tingkat Nasional dan Daerah;

2. Menyelenggarakan pameran, seminar, pesantian dan sayembara;

3. Meningkatkan penghayatan dan pengamalan Weda dalam kehidupan sehari-hari.

A. Pembentukan LPDG

LPDG dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Agama, untuk di Pusat diketuai oleh Dirjen Bimas Hindu dan Kepengurusan dibawahnya terdiri dari unsur Ditjen dan Lembaga dan Parisada.

Pelaksanaan LPDG adalah merupakan bagian kegiatan dari Direktorat Jenderal Bimas Hindu, maka untuk pembentukan LPDG di daerah hendaknya berdasarkan pengangkatan oleh Gubernur dan Ketuanya adalah Kabid atau Pembimas Hindu di daerah.

Pelaporan

a. Kepada Atasan langsung; Kakanwil

b. Kepada sumber dana;

c. Kepada donatur.

B. Sumber Dana

Sebagai sumber dana, karena LPDG adalah kegiatan Ditjen, maka salah satu sumber dana adalah dari dana DIPA Ditjen yang didistribusikan ke LPDG daerah melalui block grand.

Disamping dana dari APBN yaitu DIPA Ditjen, untuk di daerah dengan pengangkatan/pembentukan Pengurus LPDG oleh Gubernur, diharapkan untuk pembinaan dapat dialokasikan anggaran melalui APBD Provinsi/Kabupaten di daerah masing-masing.

Juga diharapkan dana bantuan dari sumbangan lembaga/badan/individu yang tidak mengikat.

C. Rekening Bank dan NPWP

Untuk dapat menampung bantuan baik dari APBN maupun APBD maka LPDG baik Pusat maupun Daerah harus memiliki rekening bank. Rekening bank ini setiap menerima bantuan karena aturan yang berlaku harus dilengkapi dengan rekomendasi dari bank yang bersangkutan bahwa rekening yang bersangkutan masih aktif.

Disamping itu lembaga (LPDG harus memiliki NPWP.

D. AD & ART

Untuk dapat mengurus NPWP, maka lembaga (LPDG) diwajibkan oleh peraturan memiliki AD dan ART.

E. Harapan

Harapan dengan kegiatan pertemuan ini untuk dapat menyusun, yaitu:

1. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;

2. Program Kerja;

3. Pedoman penyelenggaraan tahun yang akan datang.

Panitia sudah menyiapkan draftnya masing-masing, untuk dapat dicermati dan disempurnakan bersama-sama agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dalam pengembangan dan peningkatan LPDG kedepan.

Masukan-masukan dari para peserta sangat diharapkan dalam kegiatan diskusi yang akan diselenggarakan berdasarkan pengalaman-pengalaman pada waktu –waktu yang lalu serta bagaimana yang menjadi harapan kedepan agar pelaksanaan Utsawa Dharma Gita dapat menjadi salah satu Lembaga Pendidikan Keagamaan dalam menggali nilai-nilai agama untuk lebih didalami dapat memperluas wawasan kehidupan beragama dan menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari oleh Umat Hindu.

Demikian yang dapat diarahkan pada kesempatan pertemuan ini, dan kami ucapkan selamat bekerja.

Om Shanti, Shanti, Shanti OM

MANAJEMEN PURA MODEREN

MANAJEMEN PURA MODEREN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini tingkat perkembangan dan kemajuan tehnologi membawa perubahan sikap dan pola pikir umat dalam menyikapi berbagai aspek permasalahan kehidupan yang terjadi ditengah tengah masyarakat yang bergerak/dinamis . Perubahan yang berdampak langsung terhadap sikap dan mental tersebut juga terjadi pada tata cara umat Hindu dalam menanggapi informasi keumatan yang senantiasa berkembang dan berubah mengikuti aroma kehidupan berbangsa dan bernegara.

Derasnya informasi keagamaan Hindu menjadikan umat semakin dewasa sekaligus menjadi tantangan bagi pembangunan dan pengembangan ajaran agama, termasuk ajaran Hindu. Karena permasalahan tersebut menuntut upaya peningkatan sradha dan bhakti melalui pemahaman penghayatan dan pengamalan ajaran agama Hindu dalam kehidupan sehari hari secara utuh agar lebih mampu menghadapi berbagai dampak negative dari perubahan tersebut.

B. Maksud

Merespon dan menyikapi kehidupan yang berkembang sebagaimana yang terurai diatas maka tampaknya perlu ada upaya untuk merumuskan atau menentukan berbagai langkah yang dapat dijadikan acuan dalam rangka penggunaan penerapan manajemen modern dalam pengelolaan tempat ibadah/pura dari berbagai aspek kebutuhan hidup keumatan yang ada sehingga seluruh aspek kebutuhan tersebut tetap mengarah pada satu jalur yang di inginkan.

Ajakan untuk penerapan menejemen modern dalam pengelolaan tempat ibadah/ pura dimaksudkan agar dapat mencegah terjadinya pembiasan (deviasi) yang terlalu jauh dari prinsif yang diinginkan sebagai norma kewajaran untuk sebuah tempat ibadah, sepanjang hal tersebut tidak keluar dari esensi dasar yang harus dipegang. Karena ada fakta bahwa kondisi dan corak tempat ibadah yang ada juga sangat beragam.

C. T ujuan

Pura merupakan tempat yang disucikan umat Hindu dan sebagai media untuk memuja Hyang Widhi beserta manifestasinya. Untuk itu kesucian pura harus tetap terjaga tanpa mengurangi esensi utama dari sebuah tempat ibadah. Artinya dapat terpelihara ditengah tengah pengembangan sector lain untuk mengikuti perkembangan masyarakat dan makin bisa diperluas untuk kebutuhan masyarakat.

BAB II

KEBERADAAN TEMPAT IBADAH

A. Pengertian

Sebagaimana tempat tempat khusus lainnya, maka tempat ibadah (dikalangan masyarakat Hindu disebut dengan berbagai nama seperti; Pura, Sanggar pemujaan, kuil, mandir, Tongkonan, Balai Kaharingan, Candi, dsb) juga memiliki ciri khusus terkait dengan keberadaan serta fungsi dari tempat ibadah dimaksud.

Tempat ibadah pada kenyataannya adalah suatu tempat yang dipergunakan untuk menyelenggaraan kegiatan pemujaan dan kegiatan keagamaan lainnya. Umumnya tempat tersebut dipilih dengan cara tertentu baik yang bersifat fisik maupun non fisik.

Pemilihan secara fisik misalnya menyangkut pemilihan tata letak, bau tanah tempat ibadah bersangkutan dengan norma tertentu sehingga tempat dimaksud dapat menunjang kegiatan persembahyangan.

Sedangkan penilaian non fisik menyangkut getaran atau vibrasi dari tempat yang dipilih, sebab semua itu akan sangat mempengaruhi kekhusukan umat dalam melaksanakan kegiatan keagamaan.

Tidak saja diadakan pemilihan terhadap tempat dimaksud, akan tetapi juga dipilih waktu yang baik dalam memulai pembangunan dan peresmian tempat ibadah dimaksud.

Pemilihan corak atau stayl dan ornament adalah mutlak digunakan untuk melengkapi bangunan dimaksud yang semua itu diarahkan agar mendukung tujuan dalam melaksanakan persembahyangan/pemujaan. Oleh karena itu perlakuan khusus tersebut diatas membawa banyak konsekwensi maka upaya sakralisasi diadakanhanya pada batas areal tertentu yang biasanya dibuatkan pembatas seperti tembok/sekat keliling yang memisahkan antara tempat ibadah dengan areal diluar tempat ibadah dimaksud.

Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kesucian tempat ibadah, sehingga ia memiliki ciri khusus dibandingkan dengan tempat – tempat lainnya. Jadi singkatnya seluruh tempat ibadah baik yang menyangkut tempat ibadah umum, maupun yang bersifat khusus (bagi kelompok masyarakat tertentu) aspek pemeliharaan kesucian hendaknya landasan/ dasar pertimbangan dari seluruh pengelolaan tempat ibadah.

B. Struktur Bangunan Pura

Secara umum struktur bagunan Pura menjadi tiga bagian yaitu; Jaba Pura (halaman luar) Jaba Tengah (halaman tengah), Jeroan (halaman dalam). Pembagian pura menjadi tiga bagian merupakan konsep makrokosmos (Bhuana Agung) dengan lambang Tri Loka yaitu : Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka ( langit) dan Swah Loka (sorga) pura dikelilingi oleh tembok (penyengker) sebagai batasan halaman yang disakralkan atau disucikan dan pada bagian sudut disebut Paduraksa.

BAB III

STRATEGI PENGELOLAAN TEMPAT IBADAH

A. Organisasi Pengelola Tempat Ibadah

Tempat ibadah adalah merupakan tempat yang disucikan yang dipergunakan untuk memuja Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya. Untuk itu harus dijaga, dirawat dan mengamankan dengan tata kelola yang disesuaikan dengan tempat yang melingkunginya.

Dan sebagai realisasi, serta aplikasi dalam menjalankan nilai nilai ajaran agama Hindu, maka umat Hindu senantiasa melaksanakan rangkaian acara keagamaan ditempat- tempat suci/rumah ibadah.

Sebagai bentuk dan tanggung jawab dalam pengelolaan tempat ibadah maka perlu diatur system pengelolaan organisasinya, disamping memang tempat ibadah bukan milik perorangan, namun dengan tata kelola yang baik tempat ibadah kedepannya akan melahirkan keamanan dan kenyamanan umat dalam menjalankan aktivitas spitual dan social keagaman dimasa yang akan datang. Maka atas dasar pertimbangan tersebut , maka organisasi inilah yang bertanggungjawab memelihara, mengembangkan dan mengatur, bekerja sama dengan pihak pihak lain, guna menjadi suatu tujuan yang sudah ditentukan.

Dalam pembinaan dan pengelolaannya diperlukan system pengelolaan sbb :

1. Struktur bagan organisasi pengelolaan tempat ibadah; disusun berdasarkan atas kepentingan dan kebutuhan dari sebuah tempat ibadah. Diperlukan analisa dan pemahaman yang seksama. Mau dibawa kemana organisasi yang sudah terbentuk ini. Menyusun sebuah struktur organisasi hindari seperti diibaratkan menendang kucing, kucing ditendang tidak tahu, kemana dia akan pergi, apa kekiri, kekanan atau malah sebaliknya ia mati. Menyusun sebuah struktur harus seperti menendang bola; jelas kemana tujuannya akan diarahkan.

2. Pembagian tugas yang jelas pengurus tempat ibadah; harus ada kejelasan dan keseimbangan dalam pembagian tugas, disesuaikan dengan tanggung jawab dari jabatan.

3. Kelengkapan Organisasi Pengelolaan tempat Ibadah; semua produk produk yang dikeluarkan/ yang dimiliki harus tercatat dan dijelaskan secara terbuka tujuan dan pemanfaatannya.

4. Kelompok pengurus tempat ibadah; Pengelompokan ini penting, mengingat dalam suatu wilayah bisa terjadi ada lebih dari satu pura. Hal ini menjadi tugas Badan Pengelola Pura untuk mensosialisasikan produk yang dikeluarkan. Sehingga kedepannya ada pemerataan antara pura/ tempat ibadah yang satu dengan yang lainnya dalam pemberdayaan.

Beranjak dari empat hal tersebut, maka pengelolaan tempat ibadah akan dapat diberdayakan dan difungsikan sesuai dengan wewenang dan tugas yang dikembangkan berdasarkan aturan yang telah dibuat.

B. Pengadministrasian

Pengadministrasian tempat ibadah adalah merupakan kegiatan atau usaha untuk membantu, melayani, mengarahkan atau mengatur semua kegiatan didalam mencapai tujuan.

Bertitik tolak dari konsep tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan – kegiatan yang terdapat dalam administrasi pengelolaan tempat ibadah adalah merupakan kegiatan yang bersifat umum yang dilakukan oleh semua lembaga, yang pada dasarnya dilakukan dalam penertiban dan pertanggungjawaban setiap perencanaan yang dilakukan oleh setiap organisasi.

Adapun pengadministrasian yang perlu dilakukan adalah, antara lain;

1. Proses surat menyurat dalam hubungannya dengan kegiatan kegiatan keagamaan baik dalam kegiatan upacara, pembinaan dan kegiatan antar lembaga keagamaan.

2. Pengadministrasian mengenai asset asset tempat ibadah dan sumber – sumber dana yang dikelola oleh otoritas tempat ibadah.

3. Pengadministrasian keuangan tempat ibadah;

4. Pengadministrasian bidang bidang.

Pada sebagaian besar masyarakat, pengadministrasian cendrung kadang diabaikan. Kelemahan ini harus diatasi sehingga pengurus/ pengelola tempat ibadah terus menyadari bahwa tugas yang di embannya sebagai amanah dan kewajiban dan pengabdian yang harus dupertanggungjawab kan tidak saja kepada manusianya namun juga yang lebih penting pertanggung jawaban kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.

BID. PENDIDIKAN

BID.

KEAGAMAAN

BID. SOSIAL

BUDAYA

BID.

EKONOMI

BAB IV

TEMPAT IBADAH SEBAGAI WADAH PEMBERDAYAAN KEUMATAN.

Kesemarakan umat menunaikan berbagai ritual keagamaan di tempat ibadah /pura akhir – akhir ini salah satu bentuk kedewasaan mulai tumbuh tentu ini menunjukkan perkembangan yang mengembirakan. Hal tersebut dapat dijadikan ukuran bahwa telah ada peningkatan kesadaran beragama oleh segenap umat Hindu. Namun peningkatan kesadaran tersebut belum seirama dengan dengan peningkatan penghayatan dan pengamalan pesan moral serta etika agama sehingga masih banyak dijumpai perilaku umat beragama yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan nilai moral dan etika agama.

Oleh sebab itu kesenjangan yang ada tersebut menjadi tantangan bagi kita semua terutama pemuka agama Hindu di Indonesia untuk turut serta berperan serta memberikan pencerahan guna meningkat kwalitas sradha dan bhakti umat Hindu Indonesia.

Tingkat kesemarakan umat dalam melaksanakan ritual keagamaan, menjadikan pura sebagai tempat yang setrategis untuk perkembangan berbagai aspek kehidupan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai tempat atau wadah kedepannya pura diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah atau identitas umat serta simbul visual belaka namun juga harus memiliki fungsi strategis sebagai suatu institusi public yang terukur.

Untuk itu tuntutan adanya management modern akan menjadikan pura sebagai institusi formal yang harus dikelola secara professional. Artinya manajemen pura harus diarahkan menuju penterapan prinsif – prinsif manajemen modern yang meliputi; Pertama adanya kesatuan perintah, kedua, pelimpahan wewenang yang jelas ,ketiga, rentang kendali yang tuntas dan keempat pembagian kerja yang khas adalah empat prinsif dasar dalam berorganisasi.

Apabila keempatnya tersebut dapat diterapkan dengan baik dan benar maka efektifitas organisasi pura dan efisiensi manajemen pura akan dapat dicapai. Hasil akhir yang diharapkan dari semua proses itu adalah terwujudnya manajemen pura yang professional yang ditandai dengan kesemarakan umat hadir kepura sebagai dampak dari partisifasi aktif umat dalam mengembangkan pura dan meningkatkan aksifitas sosio religius umat Hindu didalam maupun diluar Pura terutamanya dibidang penggalangan danapunia umat demi terwujudnya kemandirian pengelolaan dan penataan pura.

Berdasarkan pengalaman dalam waktu terdahulu ternyata pemikiran pengelolaan tempat ibadah/ pura cendrung sudah ada walaupun masih dalam kwalitas yang sederhana dan sangat tertutup serta terbatas. Misalnya sudah ada perencanaan untuk menanggulangi kebutuhan kebutuhan yang harus dikeluarkan untuk kepentingan pura, seperti rehab, biaya petugas kebersihan pura, penanganan upacara rutin enam bulanan/tahunan ditangani dengan mengupayakan asset pura seperti pelaba pura. Hanya saja kepentingan belum begitu beragam sebagaimana tuntutan kebutuhan masa sekarang.

Lalu timbul pertanyaan; apakah kedepannya kita harus terus bergulat untuk urusan ritual belaka? Padahal masih banyak yang harus diselesaikan seperti keterbelakangan pendidikan umat, lemahnya pemberdayaan ekonomi umat kshsusnya umat Hindu di luar Bali, dsb.

Era keterbukaan saat ini menuntut manajemen/ pengelolaan pura sudah tidak tepat dilakukan dengan cara tertutup, terbatas, ekslusif, statis serta kurang tanggap terhadap perkembangan jaman. Perlu dikaji ulang sikap mempertahankan status quo tersebut akibat dari pengkristalan sifat konservatisme berpikir dan ketakutan akan panetrasi negative tehnologi pada fundamentalisme agama, disamping adanya ketakutan yang tidak wajar untuk merubah sesuatu yang selama ini dianggap baik! Pola pola pengelolaan yang bersifat kurang memperhatikan situasi bahwa umat semakin dinamis tetapi pengurus pura semakin statis harus diluruskan.

Karena pura tetap akan eksis dan berkembang jika fungsi fungsi pura dibangun atas dasar kebersamaan dengan mengedepankan peran tritorial yaitu tumbuhnya rasa saling memiliki pura secara spasial dalam sekala radius tertentu disuatu wilayah, dan yang kedua Pura dibangun atas dasar kebersamaan solidaritas umat; yaitu sarana saling mengenal agar tumbuh saling memahami antar sesame umat. Jadi ada peran fungsional sebagai alasan mengapa pura perlu dibangun.

Pura dalam konteks territorial dan fungsional Pura menjadi simbul pemersatu umat sekaligus center spiritual dan alat untuk menjaga/ menggali budaya, mengembangkan pendidikan serta pemberdayaan perekonomian umat, sehingga dengan demikian pengelolaan pura yang professional dengan sepirit ke Hinduan tidak harus meninggalkan sifat kolektifitas. Kemitraan dengan umat harus dibangun baik remajanya, kaum wanitanya ataupun sesepuh umat yang ada.

BAB V

PENUTUP

Dalam realitas hidup sebagai manusia, khususnya bagi umat Hindu bahwa pengembangan dan kreatifitas akan selalu mewarnai dalam aktifitas hidup. Tanpa pengembangan kreatifitas akan menjadi kaku, karena hidup penuh dengan kreativitas.

Demikian pula umat Hindu terutama bagi umat Hindu yang menjalankan bhakti marga tentu membutuhkan wujud, ruang, tempat dan simbul simbul sebagai cinta kasihnya pada Tuhan. Oleh karena itu umat Hindu membutuhkan tempat ibadah, tempat ibadah sebagai tempat mendekatkan diri dengan sang Pencipta akan selalu dikembangkan sesuai dengan situasi yang melingkungi dimana tempat ibadah itu berada.

Dalam konteks bhakti kepada Tuhan, maka pengembangan fungsi tempat ibadah menjadi mungkin sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan peradaban. Jadi dalam pengembangan fungsi tempat ibadah tidak ada aturan yang kaku, tetapi dimungkinkan untuk mengadakan pengembangan sepanjang dharma dan hakti’ menjadi acuan dari pengembangan tersebut.

Akhirnya, semoga tulisan ini dapat dijadikan renungan dalam rangka menyongsong perubahan yang selalu pasti datang.

OM Shanty Shanti Shanti OM.